Memandangimu
sampai habis pun tak akan ku jenuh, Nona. Betapa lembut dan menenangkannya
dirimu hingga kecewa-kecewaku yang lalu semakin berlalu bersama angin, ombak
dan langit sore itu.
***
Kita
pernah berdua di bawah cakrawala sore itu, ingat? Saat garis-garis jingga mulai
menyebar ke penjuru langit, saat bibir pantai yang kita tempati mulai penuh
dengan rakit, dan benakku serta benakmu sesak dengan ungkapan tertahan
berbait-bait. Agaknya, diam dan memandang kejauhan lebih kau sukai untuk
mengungkapkan yang kau rasakan. Tentu saja, aku ikuti. Itu seakan-akan angan di
atas kepala kita saling bercengkrama satu sama lain, tanpa kata.
Sedetik,
tak terasa berganti dua menit. Obrolan tanpa kata kian sengit. Kemudian mulai
betah kita berdua bersama sampai cakrawala itu hampir padam di telan malam. Kau
menyenderkan kepalamu di pundakku. Aku bertanya.
“Ada
apa?”
“Aku tidak tahu.” Jawabmu.
Kemudian
diam kembali. Hanya deru angin hampir malam di segara yang terdengar. Serta
debur ombak berbuih yang menghantam pasir-pasir silih berganti. Sesekali menyapa
mata kaki kita.
Nyaman.
Tentu saja tak ada kata lagi yang tepat menggambarkan semua ini. Saat semua
benar-benar tidak baik-baik saja, pergilah ke segara, lihatlah cakrawala. Ajak
seseorang yang kau cinta. Dan kini aku sedang memraktikannya. Saat semua sesak
dan kecewa-kecewaku yang terdahulu hilang lenyap hanya dengan melihat indah
dunia. Seakan itu kabur bersama derunya angin dan terusap deburrnya ombak.
Mentari
mulai turun perlahan.
“Aku
pernah kecewa,” Ucapku memecah hening.
“Lalu,
apa masalahnya? Aku juga. Bukankah semua orang pernah merasakannya?”
Kau
beralih menatap wajahku. Aku tetap bergeming menatap kejauhan. Mungkin mataku
terlihat penuh dengan kekecewaan.
“Yang
kau harus tau, kecewa bukanlah milikmu saja. Larut dalam kecewamu itu yang
membuatmu bodoh!” cacimu.
Lagi,
aku diam. Matamu beralih ke depan. Melihat cakrawala nan jauh di garis laut.
Memandang apa yang aku pandang. Seperti mata kita bertumbuk di kejauhan.
“Pergilah.... Aku tak akan menahan.” Ucapmu
lirih. Seakan kata itu tak ikhlas terucap, tercekat di kerongkongan, dan
terdengar memelas.
Aku
tak kuasa menjawab. Hanya deru angin yang semakin kencang yang terdengar.
Kemudian
tanganmu melingkar di lenganku. Kepalamu mulai bersandar lagi. Sedikit
membenarkan posisi duduk, aku juga merekatkan jaket kulitku ini.
“Dingin?”
Tanyaku.
Kau
hanya mengangguk. Lalu kurengkuh jari-jari tanganmu, dan ku genggam erat agar
hangat. Mata kita masih memandang objek yang sama, cakrawala. Langit sore nan
jingga di garis laut nun jauh di sana.
Sedetik,
tak terasa berganti dua menit. Lagi dan lagi kita tenggelam dalam diam.
Tenggelam dalam nyaman dengan benak penuh kata tak tersampaikan. Aku tahu, pergi
tak berarti tak akan kembali. Lagi pula, ada garis-garis imajiner yang akan
tetap menyatukan kita bila dijodohkan-Nya, aku percaya itu. Hanya saja, ini
tetap terasa sesak. Aku pernah kecewa, masalahnya. Dan itu terasa sakit. Aku
tak ingin kau pun juga merasakannya. Kecewa ditinggal pergi di bawah cakrawala.
Sama, tepat, seperti yang kita lakukan saat ini, aku pernah merasakan
sebelumnya.
Saat
cakrawala telah kelam di makan malam, saat itu juga aku diputuskan, kala itu,
dan memutuskan saat ini. Yang ku tahu memang tidak ada yang akan abadi, seperti
cakrawala ini. Memang garis-garis jingga indah di pandang mata tapi ada saatnya
berganti malam kelam yang datang, dan kau harus sanggup terima. Hidup tak akan
selalu bahagia. Hanya saja, kita harus bisa menikmatinya. Seperti malam nan kelam
pun juga bisa terlihat indah jika berbintang bukan?
“Aku
pergi ya?” Ucapku meligitimasi keadaan.
“Sudah
ku bilang, pergi saja...” Kemudian kau terisak. Ada tetes air mata terasa di
pundakku.
“Kau
masih bisa menunggu aku kembali, bukan?”
“Kau
tahu, aku tak akan pernah mau dan mampu menunggu. Pun aku tak akan
memberatkanmu dengan mengharuskan kau kembali. Pergilah saja, jangan pikirkan
aku. Aku baik-baik saja.”
Hatiku
bertambah sesak medengar ucapanmu itu.
Kemudian
kau berdiri, tanpa ujar dan kata yang terucap. Sedikit limbung dengan mata
memerah dan barkaca-kaca. Sedetik kemudian, kau melangkah pergi. Sedangkan aku
hanya kaku melihat punggungmu yang terus menjauh. Kaku karena perasaan bersalah
menjerat kakiku, tubuhku. Kaku karena rasa cinta ini merengkuh segenap hatiku.
Ku tak kuasa pergi. Kau jangan pergi.
Cakrawala kini masih terlihat di kejauhan. Hanya saja,
warnanya bukan jingga merona pula. Hitam, kelam, dengan sedikit cahaya
rembulan. Dengan beberapa titik pantulan-pantulan cahaya dari kapal di
seberang. Ternyata kita cukup lama dalam diam. Yang perli kita ketahui,
keputusan selalu berakhir dua sisi, apakah itu baik adanya atau risiko yang
jadi efek sampingnya.
Aku
tak kuasa pergi, kala itu. Namun harus, Nona.
***
Memandangimu
sampai habis pun tak akan ku jenuh, Nona. Sampai cakrawala sore ini datang
kembali, kini aku datang juga kembali. Seperti janjiku kala itu, meski kau tak
mau mengiyakannya. Tapi, laki-laki sejati pantang ingkar janji.
Cakrawala
kini terlihat temaram. Seakan tahu diriku yang memandangnya pun dengan
kesendirian.
Nona,
aku kembali.