Selasa, 10 November 2015

Cakrawala



Memandangimu sampai habis pun tak akan ku jenuh, Nona. Betapa lembut dan menenangkannya dirimu hingga kecewa-kecewaku yang lalu semakin berlalu bersama angin, ombak dan langit sore itu.
***
Kita pernah berdua di bawah cakrawala sore itu, ingat? Saat garis-garis jingga mulai menyebar ke penjuru langit, saat bibir pantai yang kita tempati mulai penuh dengan rakit, dan benakku serta benakmu sesak dengan ungkapan tertahan berbait-bait. Agaknya, diam dan memandang kejauhan lebih kau sukai untuk mengungkapkan yang kau rasakan. Tentu saja, aku ikuti. Itu seakan-akan angan di atas kepala kita saling bercengkrama satu sama lain, tanpa kata.
Sedetik, tak terasa berganti dua menit. Obrolan tanpa kata kian sengit. Kemudian mulai betah kita berdua bersama sampai cakrawala itu hampir padam di telan malam. Kau menyenderkan kepalamu di pundakku. Aku bertanya.
“Ada apa?”
 “Aku tidak tahu.” Jawabmu.
Kemudian diam kembali. Hanya deru angin hampir malam di segara yang terdengar. Serta debur ombak berbuih yang menghantam pasir-pasir silih berganti. Sesekali menyapa mata kaki kita.
Nyaman. Tentu saja tak ada kata lagi yang tepat menggambarkan semua ini. Saat semua benar-benar tidak baik-baik saja, pergilah ke segara, lihatlah cakrawala. Ajak seseorang yang kau cinta. Dan kini aku sedang memraktikannya. Saat semua sesak dan kecewa-kecewaku yang terdahulu hilang lenyap hanya dengan melihat indah dunia. Seakan itu kabur bersama derunya angin dan terusap deburrnya ombak.
Mentari mulai turun perlahan.
“Aku pernah kecewa,” Ucapku memecah hening.
“Lalu, apa masalahnya? Aku juga. Bukankah semua orang pernah merasakannya?”
Kau beralih menatap wajahku. Aku tetap bergeming menatap kejauhan. Mungkin mataku terlihat penuh dengan kekecewaan.
“Yang kau harus tau, kecewa bukanlah milikmu saja. Larut dalam kecewamu itu yang membuatmu bodoh!” cacimu.
Lagi, aku diam. Matamu beralih ke depan. Melihat cakrawala nan jauh di garis laut. Memandang apa yang aku pandang. Seperti mata kita bertumbuk di kejauhan.
 “Pergilah.... Aku tak akan menahan.” Ucapmu lirih. Seakan kata itu tak ikhlas terucap, tercekat di kerongkongan, dan terdengar memelas.
Aku tak kuasa menjawab. Hanya deru angin yang semakin kencang yang terdengar.
Kemudian tanganmu melingkar di lenganku. Kepalamu mulai bersandar lagi. Sedikit membenarkan posisi duduk, aku juga merekatkan jaket kulitku ini.
“Dingin?” Tanyaku.
Kau hanya mengangguk. Lalu kurengkuh jari-jari tanganmu, dan ku genggam erat agar hangat. Mata kita masih memandang objek yang sama, cakrawala. Langit sore nan jingga di garis laut nun jauh di sana.
Sedetik, tak terasa berganti dua menit. Lagi dan lagi kita tenggelam dalam diam. Tenggelam dalam nyaman dengan benak penuh kata tak tersampaikan. Aku tahu, pergi tak berarti tak akan kembali. Lagi pula, ada garis-garis imajiner yang akan tetap menyatukan kita bila dijodohkan-Nya, aku percaya itu. Hanya saja, ini tetap terasa sesak. Aku pernah kecewa, masalahnya. Dan itu terasa sakit. Aku tak ingin kau pun juga merasakannya. Kecewa ditinggal pergi di bawah cakrawala. Sama, tepat, seperti yang kita lakukan saat ini, aku pernah merasakan sebelumnya.
Saat cakrawala telah kelam di makan malam, saat itu juga aku diputuskan, kala itu, dan memutuskan saat ini. Yang ku tahu memang tidak ada yang akan abadi, seperti cakrawala ini. Memang garis-garis jingga indah di pandang mata tapi ada saatnya berganti malam kelam yang datang, dan kau harus sanggup terima. Hidup tak akan selalu bahagia. Hanya saja, kita harus bisa menikmatinya. Seperti malam nan kelam pun juga bisa terlihat indah jika berbintang bukan?
“Aku pergi ya?” Ucapku meligitimasi keadaan.
“Sudah ku bilang, pergi saja...” Kemudian kau terisak. Ada tetes air mata terasa di pundakku.
“Kau masih bisa menunggu aku kembali, bukan?”
“Kau tahu, aku tak akan pernah mau dan mampu menunggu. Pun aku tak akan memberatkanmu dengan mengharuskan kau kembali. Pergilah saja, jangan pikirkan aku. Aku baik-baik saja.”
Hatiku bertambah sesak medengar ucapanmu itu.
Kemudian kau berdiri, tanpa ujar dan kata yang terucap. Sedikit limbung dengan mata memerah dan barkaca-kaca. Sedetik kemudian, kau melangkah pergi. Sedangkan aku hanya kaku melihat punggungmu yang terus menjauh. Kaku karena perasaan bersalah menjerat kakiku, tubuhku. Kaku karena rasa cinta ini merengkuh segenap hatiku. Ku tak kuasa pergi. Kau jangan pergi.
Cakrawala  kini masih terlihat di kejauhan. Hanya saja, warnanya bukan jingga merona pula. Hitam, kelam, dengan sedikit cahaya rembulan. Dengan beberapa titik pantulan-pantulan cahaya dari kapal di seberang. Ternyata kita cukup lama dalam diam. Yang perli kita ketahui, keputusan selalu berakhir dua sisi, apakah itu baik adanya atau risiko yang jadi efek sampingnya.
Aku tak kuasa pergi, kala itu. Namun harus, Nona.
***
Memandangimu sampai habis pun tak akan ku jenuh, Nona. Sampai cakrawala sore ini datang kembali, kini aku datang juga kembali. Seperti janjiku kala itu, meski kau tak mau mengiyakannya. Tapi, laki-laki sejati pantang ingkar janji.
Cakrawala kini terlihat temaram. Seakan tahu diriku yang memandangnya pun dengan kesendirian.
Nona, aku kembali. 

Jumat, 09 Oktober 2015

Troposfer.

Aku pernah mendambakanmu, dahulu.

          Menjadi sempurna dalam ketinggian, membayangkannya saja membuatku tersenyum-senyum sendiri. Mengukir-ukir angan seperti dirimu membuatku nyaman, namun dalam gusar. Gusarku lebih kepada, apakah dapat aku sepertimu?

Tentu saja aku tak hanya membayangkan, Nona.

          Aku pernah mencoba meraih tempatmu di ketinggian itu. Aku pernah coba menjinjit, tak sampai dan kakiku sakit. Aku coba sedikit melompat, nihil ku tetap tak dapat. Aku mencoba mundur kebelakang, mengambil ancang-ancng, berlari kencang, dan hasilnya aku hanya terhempas dan terjengkang. Menggapaimu tak semudah yang kubayangkan. 

Tapi, bukankah itu asyiknya berjuang?
          
          Berkali-kali mencoba meraihnya meski berkali pula tak dapatkannya. Aku tak akan pernah segampang itu menyerah, pikirku. Sampai orang-orang disekitarku memperolokku bodoh, atau sebaliknya, menyemangatiku dan memberiku senyuman, walau aku tahu itu hanya dalam wajah saja, hatinya ku pun yakin menertawakan juga. Tapi, bukankah itu asyiknya berjuang? Sekali-dua kali gagal dan disepelekan. 

Kemudian, aku terjatuh untuk kesekian. 
           
          Mendongak berlama-lama ternyata memang melelahkan, Nona. Sampai aku pernah hampir berhenti mendamba. Dan tersadar bahwa ternyata memang engkau bukanlah yang tepat untuk didamba. Aku terlalu berani bermimpi, agaknya. Sampai lupa bahwa aku juga punya hati yang juga akan lelah jika terus menerus kalah. 

Aku, masih mendambakanmu, dua hari lalu.
     
          Sampai kemudian di pertengahan malam tadi aku sadar, berhenti mendambamu bukan membuatku menjadi pecundang. Hanya saja, aku harus lebih sadar diri, bahwa ada hal-hal yang memang tidak diperuntukan untuk diriku ini. Aku sadar, aku tak harus terus mendongak. Lebih lama melihat ke depan lebih bijaksana, kataku. 

Nona, 

          Apalah aku ini yang hanya troposfer. Menjadi di bawah dan menyangga engkau yang di atas adalah tugasku memang. Tanpa harus di atas pun harusnya ku bersyukur dan bahagia. Apalah aku ini yang pandai bermimpi namun, tak pandai sadar diri. 

Nona, aku menyerah sekarang. 

          Aku akan tetap pada peraduanku, di bawahmu, dalam kebahagiaanku.
          Sendiri,  

Selasa, 28 Juli 2015

Juli Kembali



Sorce : foto.viva.co.id





Seperti air.
            Yang mengalir, berkelok mengikut sungai. Atau dia yang tertahan dalam tanah, mencoba membebaskan diri dan mencari bantuan sang akar agar ia terserap oleh pohon dan memberi kebermanfaatan untuk hidup. Atau air yang tergenang begitu saja di permukaan.
            Seperti air.
            Yang naik mengangkasa. Mengalah dengan panasnya mentari dan mengubah dirinya menjadi uap-uap yang bersama uap lainnya mencari hidup yang baru. Ia ke atas. Ia menuju ke tempat yang lebih tinggi. Dan terkumpul bersama air-air yang lainnya yang bernasib sama.
            Membentuk awan, beriringan, menari, bersenang-senang di angkasa luas. Sampai waktunya datang ia juga akan jatuh kembali. Jatuh membumi. Ke tempat awalnya dia berada sebagai rintik-rintik hujan, gerimis, lebat atau bahkan badai sekalipun. Ia kembali. Menjadi yang berkelok bersama sungai, yang tertanam di dalam tanah bersama akar-akar, atau tergenang begitu saja. Kembali.
            Seperti air.
            Yang menyiklus. Mencipta sebuah siklus. Turun kemudian naik kembali. Pergi kemudian datang kembali. Tanpa tahu awal mulanya seperti apa dan kapan pula akan berkahir siklusnya. Tanpa disadari, begitu juga hidup. Menyiklus. Mencipta sebuah siklus. Datang dan pergi. Meninggalkan lalu kembali. Turun kemudian menaik.
Setidaknya, jika hidupmu tidak seperti itu maka hidupku-lah yang seperti itu. Kini aku kembali.
***

22.30  
Sudah sampai mana dek?

Tulisan itu muncul di layar ponselku. Bahkan ini yang ketiga kalinya setelah aku tidak menjawab kedua pesan serupa sebelumnya. Ibuku memang seperti itu, penuh dengan rasa khawatir. Membuatku malas membalas.
Tadi sore aku baru mengabarinya bahwa aku pulang sore ini. Dua tahun. Dua tahun setelah kepulanganku terakhir. Cukup lama memang. Menjadi aktifis mahasiswa membuatku kekurangan waktu bersama keluarga. Setiap kali libur semester, ada saja alasan yang menahanku di tanah rantau. Ya, aku mahasiswa semester tua. Belajar hukum di Universitas di Jakarta. Merantau jauh dari pelosok Jawa Timur meninggalkan Ibu dan Bapakku yang hanya hidup berdua. Aku anak tunggal.

Baru lepas dari Stasiun Prujakan-Cirebon, Bu. Ibu dereng sare? Sudah malam loh Bu. Ndak usah nungguin Adek. Nanti kalo Adek sudah sampai stasiun, Ibu tak telpon.
Ibu tidur saja nggih…

Walaupun sering khawatir denganku, tapi Ibu tidak pernah berani menelponku. Mungkin dia tahu, aku selalu tak menjawab panggilan darinya. Semata-mata karena aku tidak ingin mengganggu waktu organisasiku, -waktu rapat, meeting, diskusi atau pengarahan- dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “Piye kabare Adek?” atau “Sampun maem dereng?”. Aku akan memberinya pesan singkat setelah semua urusanku selesai. Ibu sudah hafal dengan perangaiku ini sejak aku aktif di sekolah tingkat atas dahulu.
Bapak?
Bapak kaku orangnya. Ditambah garis mukanya yang tegas, kulitnya yang legam membuat dia cocok mendapat predikat guru tergalak di SMP tempat ia mengajar. Aku dulu bersekolah di sana, bersama Bapakku, dan aku jengah menjadi bahan olok-olok karena Bapakku killer. Dia jarang tersenyum. Sesekali tertawa hanya jika melihat srimulat diputar kembali di televisi nasional. Bertolak belakang sekali dengan Ibu. Namun itulah cinta, saling melengkapi, katanya. Dan hasilnya adalah aku, yang menuruni sifat keduanya. Over thinking namun arogan dan lugas.
***

02.24

Aku mulai terkantuk. Kereta malam Gajayana tujuan akhir Banyuwangi ini berjalan lamban, pikirku. Pak Naryo, laki-laki parubaya asal Tulungagung, penumpang di sebelahku sudah ambruk tertidur. Terkerungkup jaket-setengah-jasnya yang berwarna hitam. Aku masih betah membolak-balik buku agendaku. Mencoretnya di sana-sini tanda satu per satu acara sudah terlaksana.
Hanya saja aku harus balik cepat sehabis hari raya nanti. Libur hanya lima hari, aku harus kembali ke rantau mengurus ini-itu sebagai calon ketua BEM yang pemilihannya sebulan lagi. Lelah. Aku sedikit malas membayangkannya. Sibuk, rapat, hearing, kampanye dan tetek-bengek lainnya. Aku hanya ingin santai dan pulang kampung menjenguk Ibu-Bapak saja. Aku hanya ingin kembali. Kembali ke peraduan.
Aku menatap lamat kaca jendela. Dari luar tergambar sawah terhampar yang hitam dimakan malam. Perjalanan malam ini entah mengapa aku menikmati. Atau mungkin karena sudah lama tak ku jalani? Lalu bias wajahku nampak dari samar kaca. Membuatku berpikir, apakah salah jika aku menjadi aktivis kampus? Apakah dibenarkan jika aku jarang pulang hanya karena ingin menambah banyak pengalaman? Dan, apakah Ibu dan Bapakku baik-baik saja? Biarlah. Biarlah pertanyaan-pertanyaan itu berputar di otakku saja. Biarlah hidup ini berproses. Mudahan-mudahan Ibu-Bapakku dapat mengerti. Mudah-mudahan.
Akan ku mintakan izinku pada Bapak-Ibu nanti, saat aku kembali.
***

07.18

            Bang, udah sampai? Jangan lupa kabari aku

            Kali ini bukan kalimat dari ibuku yang muncul di layar ponsel. Ibu telah ku cueki sejak tadi malam. Dia mungkin lelah telah mengirim lebih dari sebelas pesan dan tak ku balas.
            Ini dari Marini.Kekasihku.
            Kekasihku yang kujanjikan akan kunikahi setelah ku wisuda nanti. Ya, dia telah kuperawani. Katanya, dia mencintaiku sampai mati, sampai apa saja dia beri. Bahkan aku tak tahu apakah ku mencintainya. Brengsek memang. Tapi akan tetap kunikahi dia nanti. Bukan karena cinta. Tapi karena aku laki-laki, pantang ingkar janji.
            Sudahlah, kuputuskan untuk mengabaikan saja pesannya. Anggap saja aku sedang tertidur karena lelah dalam kereta. Nanti akan kukatakan itu sebagai alasan.
            Ya, akan kuceritakan tentang Marini juga pada Bapak-Ibu. Bukan tentang dia yang sudah keprawani tentunya. Tentangnya, perangainya, dan sikap-sifatnya sebagai calon istri. Semoga orang tuaku merestui. Nanti, jika aku kembali.
***

14.46

Langit mendung Kediri dating sore ini. Bersama Gajayana Malam yang datang terlambat. Enam belas menit rupanya. Aku turun. Aaah, lelah. Ku seret kaki ini meninggalkan gerbong melangkah menuju peron.
Inilah kampungku. Inilah peraduanku.  
Bu, Juli kembali.
Kataku dalam hati.
Akan ku ceritakan padanya tentang hidupku dua tahun ini, tentang bagaimana aktifitasku, rapat-rapatku, prosesku dicalonkan menjadi ketua BEM, dan tentu saja tentang Marini.
Tentang kelokan hidup yang ku lalui. Tentang mereka, akar-akar yang membantuku memberi kebermanfaatan bagi orang banyak. Tentang Marini, mentariku yang mengubahku membuat meninggi. Tentang kesenangan-kesenanganku bersama awan-awan di angkasa Ibu Kota. Dan tentang perjalananku kembali, Bu.
Jika nanti aku akan berangkat menyiklus lagi, izinkan aku kembali suatu hari nanti.
Di waktu seperti sekarang ini.
Di akhir Juli. 

Kemudian gerimis turun membasahi Kota Kediri. 

Senin, 27 Juli 2015

Reborn

Source : alkarami.wordpress.com






Seperti menetas kembali.
Ketika semua kata-kata mulai kembali ingin terangkai dan neuron-neuron di otak kembali ingin bekerja lebih keras. Dahiku berkerut, apa ini saatnya terlahir kembali?

Setelah kurasa ide-ide dalam benak mulai ingin berdesakkan ingin keluar. Pernah ku kata, "Janganlah disimpan nak..., jangan biarkan dia membuncah pecah menjadi berkeping amarah." pada tulisanku terdahulu. Serta setelah satu-dua orang menginspirasiku untuk melakukan hobiku kembali.

Maka ini. Ku buka kembali keping-keping dari bosannya hidupku, atau bahkan bahagianya hatiku dalam bait-bait tulisanku. Dalam usahaku membangun ruang bacaku. Salah! Ruang bacamu, dan ruang tulisku. Sala de Lectura.
















Ini tentang semua hal yang kusuka,
layaknya menulis dan membaca.
Dan semoga kau pun menjadi suka.
Salam.