Rabu, 31 Juli 2013

The Only One Trophy

Satu benda ini emang paling menonjol di kamar yang tak begitu luas ini. Kamar milikku. Emang sengaja sih aku pajang di puncak lemari belajar. Semacam benda kebanggaan. Prinsipnya ama seperti barang kebanggaan yang lain, jalan mendapatkannya pun penuh kelokan.

Yups, satu-satunya piala yang ada di kamarku. Tidak tidak. Satu-satunya yang ada di rumahku, bahkan. Bukan penghargaan tingkat dewa semacam grammy atau sementereng Piala Citra FFI, cukup bertuliskan "Ananda Satriyo Adi Wicaksono. Peringkat III Ujian Nasional SD Bumirejo 1 Kebumen 2007/2008". Tapi menurutku itu cukup berharga. Bukan hanya karena perjuangan untuk mendapatkannya saja, melainkan ada hal yang "mengenaskan" ketika penerimaan piala tersebut.

***
Setting berganti kawan. Ini menjadi enam tahun yang lalu, saat-saat wisuda SD. Masih jelas sekali di ingatan ketika satu malam sebelum hari-H (pengumuman kelulusan dan wisuda) betapa hebohnya aku. Rela menyetrika baju sampai seklimis-klimisnya demi penampilan paling oke, kalau kalau besok dipanggil ke atas panggung. Siapin sisir paling membahana, dan segala persiapan yang tak lazim. Itu waktu SD loh. Jaman-jamannya Kangen Band masih jadi idola (upseh). 

Tapi apa yang terjadi bung! Waktu aku ngasih undangan acara wisuda ke Bapak sama Ibu, mereka dengan santainya jawab begini :

"Yo ngesuk to nduk, nek bapak mboten sibuk teng pabrik nggeh mangkat." -Ya besok nak. Kalau Bapak nggak sibuk di pabrik ya berangkat.- Itu jawaban Bapak.

"Lah, nggo ngopo mangkat. Koyoto kowe arep munggah panggung dadi juara siji wae. Wegah! Ibu arep arisan eneng balai desa." - Buat apa berangkat. Kaya kamu mau naik panggung jadi juara satu aja. Males Ibu ada arisan di Balai Desa- Yang inini, jawaban ibu.

"Ya Tuhan~ Ini, mereka berdua orang tua kandung apa orang tua tiri sih ah. Jahat banget. Terus, bagaimana kalau besok ternyata aku jadi salah satu anak yang dapat peringkat dan suruh naik panggung bersama orang tuanya. Sendirian? Arrrgh!" -Yang ini gerutuka dalam hati sendiri.

Tapi apa boleh buat, show must go on! Persetan dengan kehadirang orang tua. Yang penting aku berangkat, dan siap buat dipanggil maju ke atas panggung dengan percaya diri super gedhe.

Dan benar saja, ada nama Satriyo Adi Wicaksono tertulis di samping angka tiga di baris pengumuman kelulusan. Artinya, Aku peringkat tiga! Ayeeey. Seneng sih, masuk ke atas panggung. walaupun cuma dapet yang ke-3 tapi ini perjuangan anak cowok yang gak pernah belajar tapi UN-nya rengking tiga. M

Tapi malu juga, saat anak-anak yang lainnya yang naik ke atas panggung didampingi orang tua, aku? Sendirian! Sampai ada salah satu guru bilang gini : "Satriyo orang tuanya kemana? kok tidak datang? Kasian, mau Ibu dampingi di depan?" Nah loh.

 ***

Tapi aku yakin sih, di balik sikap cuek Ibu sama Bapak terselip doa di setiap hari mereka agar anaknya bisa berprestasi. 

Dan karena sekarang Satriyo adalah siswa tahun terakhir, besar harapan di kelulusan besok aku bakal naik panggung lagi dengan predikat peringkat (berapapun) UN SMA 2013 / 2014. Biar pialanya nambah, nggak cuma satu. Amiiin.   

Ini ceritaku, mana ceritamu? (Lho!)

Hari ke-1 #CeritaDariKamar

Jumat, 19 Juli 2013

Sebelum Senja


"Silakan kopinya."
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.

Bagiku, kopi ialah pemanis di kala senja. Aku tidak paham dengan anggapan orang-orang yang membenci kopi hanya karena ia pahit. Pahitnya kopi mampu menyadarkanku bahwa hidup tidak selamanya manis. Kopi sanggup membuatku nyaman meski kepala sedang suntuk-suntuknya. Dan kopi ialah teman yang baik bagi mereka yang sedang sendiri. Seperti orang yang sedang menunggu. Seperti aku.

Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik John Mayer yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.

"Semoga aku nggak salah tempat," batinku.
Kuingat-ingat lagi surat itu. Ya, surat aneh yang kudapat sehari yang lalu. Tidak ada nama pengirim, hanya berisi tulisan pendek mengenai permintaan untuk bertemu disertai alamat, tanggal, dan waktunya. Di baliknya terdapat sebuah foto seorang anak lelaki menggenggam tangan seorang anak perempuan. Semakin kuperhatikan, semakin aku yakin jika anak lelaki di foto itu aku. Berbagai macam pertanyaan seperti siapa pengirimnya, ada keperluan apa ia ingin menemuiku, dan kenapa ia bisa memiliki fotoku waktu kecil mengubur segala rasa takutku.

Dan di sinilah aku. Menunggu.
Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
***

Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang perempuan dengan kemeja flanel berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang.Aku hanya diam. Menunggu di sudut ruangan dengan hati berharap cemas.
“Diakah perempuan di foto itu? Apa iya, dia yang mengajakku bertemu sore ini? Lalu, siapa dia? Apa hubungannya dengan masa kecilku?” pertanyaan pertanyaan it terus berputar di benakku.
Kusesap lagi cappuccinoku yang tinggal setengah gelas. Berharap pertanyaan pertanyaan yang berputar di kepalaku ini ikut masuk ke lambung bersamanya.
***

“Hai, Rio?” Suara itu lembut. Dan memang, suara ini milik si perempuan yang baru masuk café tadi.
“Iya. Siapa ya?” Aku balas dengan sedikit senyuman.

Tanpa permisi, wanita berkawat gigi itu menggered kursi didepanku. Duduk, meletakkan tas selempang kulit warna coklatnya dengan anggun dan menarik nafas lebih panjang, mungkin dia lelah dalam perjalanan menuju ke sini. Senyumnya manis walaupun penampilannya sudah mulai berantakan terkena peluh. Tapi kesan pertamaku : dia cantik.

“Aku Astri. Mungkin kamu lupa denganku. Tapi aku masih ingat kamu kok. Kita teman masa kecil, percaya?”
Aku diam, memperhatikan gaya bicaranya yang sedikit medhok. Mungkin dia dari Jogja, atau Solo atau kota lain di Jawa. 

“Eh, kok diam?”
Sory, tapi aku sama sekali nggak inget kamu. Aku nggak tau kamu. . .”
“Oh yaya. Mungkin kamu belum ingat. Tunggu sebentar.”

Astri membuka tasnya. Merogoh sesuatu benda yang aku tak tau apa. Aku hanya memerhatikan. Tak lama dia menyodorkan beberapa lembar foto usang kepadaku.

“Ini. Coba kamu lihat. Ini foto foto kita waktu kecil dulu. Salah satunya yang aku kirimkan ke kamu kemarin. Ini waktu kita liburan bersama ke Parangtritis bareng Ibu sama Bapak kita masing masing. Yang ini waktu kita berpose menangkap matahari terbenam. Umur kita dulu baru lima tahun. Kamu ingat?” jelasnya sambil menunjukkan detail foto foto yang bahkan beberapa diantaranya sudah mulai rusak.
Aku berpikir keras. Mungkin kerutan kerutan di dahiku sudah nampak jelas. Mencoba mengais ngais memori masa kecil yang sudah kulupa. 

“Kamu Jati bukan sih?”
“Nah iya! Aku Jati. Anaknya tante Rosma, kamu ingat?”
“Ooooh, kalo Jati aku ingat.”
“Namaku Astri Jayanti ya Yo! Cuma kamu yang panggil aku Jati, yo.”
“Ya abisnya dulu aku enaknya manggil kamu Jati sih. Eh tapi, kamu beda banget loh. Dulu kan kamu item, kriting pendek. Sekarang cantikan deh.” 

Ada apa dengan sistem otakku ini ya Tuhan. Dia Jati, aku baru ingat. Dia teman masa kecilku, atau mungkin lebih tepatnya gebetan masa kecil. Ibu kami yang bersahabat dekat dengan paksa memerkenalkan kami berdua. Aku jadi ingat, pertama kali kami dipertemukan.  

Sore sore, Tante Rosma membawa Jati ke rumahku. Jati yang sangat pemalu taka mau berjabat tangan dengan siapapun, termasuk aku. Tapi, sifat pemalunya kululuhkan dengan buku dongeng pinokio. Kami membacanya berdua, di ayunan, di bawah rimbunnya pohon mangga, di depan rumahku yang dulu. Kami menghabiskan senja bersama. Menebak bentuk awan di langit sore yang sudah menjingga. Tapi itu dulu, sebelum aku pindah ke Jakarta ikut Ibu yang meninggalkan Ayah di Jogja karena dia yang memilih wanita lain. 

Tapi, getaran apa ini? Ini pertemua pertama setelah belasan tahun yang lalu. Dulu, aku sayang Jati. Jati yang hitam manis yang selalu merengek manja ketika ku cubit pipinya. Tapi itu dulu, dulu sekali. Delapan belas tahun yang lalu. 

“Aku baru lulus kuliah Yo. Bapakku meninggal beberapa tahun yang lalu. Kata Ibu, aku dulu punya sahabat kecil. Dan itu kamu. Makannya aku langsung cari tahu dan mengirimkan surat yang kamu terima kemarin.”
“Terus, Tante Rosma? Apa kabar dia?”
“Ibu sudah mulai sakit sakitan Yo, paru-parunya bermasalah. Oh ya, selama di Jakarta, aku nginep di rumahmu ya. Tekor nih kalo harus nginep di hotel lagi.”
“Oke lah. Sip! Itungannya sama ya kaya di hotel bintang lima. Hehe. . “
“Hahahaha. . .” 

Sore itu kami membunuh waktu dengan ngobrol ke sana ke sini. Bernostalgia dengan kenangan kenangan manis yang kami pernah lalui. Menunggu senja seperti sedia kala. Seperti saat kedua anak manusia belum diberikan nalar yang kuat oleh-Nya. Pertemuan yang tiba-tiba memang siapa yang tahu? Dia yang selama ini menjadi masa lalumu, mungkin suatu saat akan menemuimu kembali. Dipertemukan kembali oleh waktu. 

“Yo, kita habiskan senja kali ini berdua yah. Seperti waktu kecil dulu.”
“Oke, aku punya tempat yang wajib kamu datangi, mau ikut aku?”
Kami keluar dari café bernuansa vintage itu berdua. Berharap senja yang akan menemani pertemuan awal ini, dan semoga senja yang akan menjadi saksi kami hingga nanti.

lanjutan dari www.adityadinata.blogspot.com/sebelum-senja

Kamis, 11 Juli 2013

Ini Juli

Ini Juli. Mungkin bagi sebagian orang itu tak berarti, tapi tidak untukku. Kataku, Juli ialah bulan pertemuan. Juli adalah bulan dimana aku pertama melihatmu. Memandangmu secara malu-malu. Memperhatikan gerak gerik dan segala tingkahmu. Engkau tak sadar kan? Berarti aku sukses lah.

Ini Juli ke 6 semenjak Juli itu. Banyak yang kita lakukan bersama, berbagai moment terlewati. Ibarat siklus hidup, pertemuan, senang, sedih, perjuangan dan perpisahan.

~Perkenalan
Tentu saja, aku tak se-cemen yang kau pikirkan. Mana mungkin aku tak berani mengajakmu berkenalan. Aku tak ingat jelas bagaimana kita bisa kenal dan akrab. Tapi aku ingat, dulu aku sering mencari-cari alasan untuk selalu ke kelasmu. Kita diperkenalkan oleh seorang teman. Itu saja, tak ada yang istimewa.

~Senang
Begitu banyaknya kesenangan yang kita cipatakan bersama. Kita? Tentu bukan hanya kita berdua ya. Kita, Aku Kamu dan Mereka. Tak akan bisa terurai satu per satu, yang pasti itu akan selalu ku kenang.




~Sedih
Layaknya hidup, tak selalu bahagia, kita juga begitu. Aku ingat, ketika kita duduk berdua. menguraikan satu demi satu masalah yang kita miliki. Ketika kau menitihkan air mata dan kutawarkan pundakku, namun kau menolak. Aku ingat.

~Perjuangan
Bersama berjuang terlepas dari belenggu masalah. Ketika kita berjuang bersama, itu juga salah satu hal yang tak pernah kulupa. Layaknya pelajar, kita belajar sama. Merayakan kelulusan bersama dan masuk ke jenjang SMA bersama.

~Perpisahan
Kini hanya menunggu perpisahan. Aku sadar, yang dipertemukan tak akan kekal dalam kebersamaan. Pastilah akan ada hantu bernama perpisahan. Sampai di titik ini, siswa tahun terakhir yang melelahkan, sepertinya beberapa bulan lagi kita akan berpisah. Saling menentukan arah. Tapi ku harap, jangan kau lupakan Juli ini, dan kelima Juli sebelumnya.


Semoga benar apa kata orang. Perpisahan dibuat agar pertemuan kembali terasa lebih indah.
Dan ku harap, kita akan dipertemukan di Juli lainnya.