Jumat, 09 Oktober 2015

Troposfer.

Aku pernah mendambakanmu, dahulu.

          Menjadi sempurna dalam ketinggian, membayangkannya saja membuatku tersenyum-senyum sendiri. Mengukir-ukir angan seperti dirimu membuatku nyaman, namun dalam gusar. Gusarku lebih kepada, apakah dapat aku sepertimu?

Tentu saja aku tak hanya membayangkan, Nona.

          Aku pernah mencoba meraih tempatmu di ketinggian itu. Aku pernah coba menjinjit, tak sampai dan kakiku sakit. Aku coba sedikit melompat, nihil ku tetap tak dapat. Aku mencoba mundur kebelakang, mengambil ancang-ancng, berlari kencang, dan hasilnya aku hanya terhempas dan terjengkang. Menggapaimu tak semudah yang kubayangkan. 

Tapi, bukankah itu asyiknya berjuang?
          
          Berkali-kali mencoba meraihnya meski berkali pula tak dapatkannya. Aku tak akan pernah segampang itu menyerah, pikirku. Sampai orang-orang disekitarku memperolokku bodoh, atau sebaliknya, menyemangatiku dan memberiku senyuman, walau aku tahu itu hanya dalam wajah saja, hatinya ku pun yakin menertawakan juga. Tapi, bukankah itu asyiknya berjuang? Sekali-dua kali gagal dan disepelekan. 

Kemudian, aku terjatuh untuk kesekian. 
           
          Mendongak berlama-lama ternyata memang melelahkan, Nona. Sampai aku pernah hampir berhenti mendamba. Dan tersadar bahwa ternyata memang engkau bukanlah yang tepat untuk didamba. Aku terlalu berani bermimpi, agaknya. Sampai lupa bahwa aku juga punya hati yang juga akan lelah jika terus menerus kalah. 

Aku, masih mendambakanmu, dua hari lalu.
     
          Sampai kemudian di pertengahan malam tadi aku sadar, berhenti mendambamu bukan membuatku menjadi pecundang. Hanya saja, aku harus lebih sadar diri, bahwa ada hal-hal yang memang tidak diperuntukan untuk diriku ini. Aku sadar, aku tak harus terus mendongak. Lebih lama melihat ke depan lebih bijaksana, kataku. 

Nona, 

          Apalah aku ini yang hanya troposfer. Menjadi di bawah dan menyangga engkau yang di atas adalah tugasku memang. Tanpa harus di atas pun harusnya ku bersyukur dan bahagia. Apalah aku ini yang pandai bermimpi namun, tak pandai sadar diri. 

Nona, aku menyerah sekarang. 

          Aku akan tetap pada peraduanku, di bawahmu, dalam kebahagiaanku.
          Sendiri,  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar