|
Sorce : foto.viva.co.id |
Seperti air.
Yang
mengalir, berkelok mengikut sungai. Atau dia yang tertahan dalam tanah, mencoba
membebaskan diri dan mencari bantuan sang akar agar ia terserap oleh pohon dan
memberi kebermanfaatan untuk hidup. Atau air yang tergenang begitu saja di
permukaan.
Seperti
air.
Yang
naik mengangkasa. Mengalah dengan panasnya mentari dan mengubah dirinya menjadi
uap-uap yang bersama uap lainnya mencari hidup yang baru. Ia ke atas. Ia menuju
ke tempat yang lebih tinggi. Dan terkumpul bersama air-air yang lainnya yang
bernasib sama.
Membentuk
awan, beriringan, menari, bersenang-senang di angkasa luas. Sampai waktunya
datang ia juga akan jatuh kembali. Jatuh membumi. Ke tempat awalnya dia berada
sebagai rintik-rintik hujan, gerimis, lebat atau bahkan badai sekalipun. Ia
kembali. Menjadi yang berkelok bersama sungai, yang tertanam di dalam tanah
bersama akar-akar, atau tergenang begitu saja. Kembali.
Seperti
air.
Yang
menyiklus. Mencipta sebuah siklus. Turun kemudian naik kembali. Pergi kemudian
datang kembali. Tanpa tahu awal mulanya seperti apa dan kapan pula akan
berkahir siklusnya. Tanpa disadari, begitu juga hidup. Menyiklus. Mencipta
sebuah siklus. Datang dan pergi. Meninggalkan lalu kembali. Turun kemudian
menaik.
Setidaknya, jika hidupmu
tidak seperti itu maka hidupku-lah yang seperti itu. Kini aku kembali.
***
22.30
Sudah
sampai mana dek?
Tulisan itu muncul di
layar ponselku. Bahkan ini yang ketiga kalinya setelah aku tidak menjawab kedua
pesan serupa sebelumnya. Ibuku memang seperti itu, penuh dengan rasa khawatir. Membuatku
malas membalas.
Tadi sore aku baru
mengabarinya bahwa aku pulang sore ini. Dua tahun. Dua tahun setelah
kepulanganku terakhir. Cukup lama memang. Menjadi aktifis mahasiswa membuatku
kekurangan waktu bersama keluarga. Setiap kali libur semester, ada saja alasan yang
menahanku di tanah rantau. Ya, aku mahasiswa semester tua. Belajar hukum di
Universitas di Jakarta. Merantau jauh dari pelosok Jawa Timur meninggalkan Ibu
dan Bapakku yang hanya hidup berdua. Aku anak tunggal.
Baru
lepas dari Stasiun Prujakan-Cirebon, Bu. Ibu dereng sare? Sudah malam loh Bu.
Ndak usah nungguin Adek. Nanti kalo Adek sudah sampai stasiun, Ibu tak telpon.
Ibu
tidur saja nggih…
Walaupun sering
khawatir denganku, tapi Ibu tidak pernah berani menelponku. Mungkin dia tahu,
aku selalu tak menjawab panggilan darinya. Semata-mata karena aku tidak ingin
mengganggu waktu organisasiku, -waktu rapat, meeting, diskusi atau pengarahan- dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti “Piye kabare Adek?” atau “Sampun maem dereng?”. Aku akan
memberinya pesan singkat setelah semua urusanku selesai. Ibu sudah hafal dengan
perangaiku ini sejak aku aktif di sekolah tingkat atas dahulu.
Bapak?
Bapak kaku orangnya. Ditambah
garis mukanya yang tegas, kulitnya yang legam membuat dia cocok mendapat
predikat guru tergalak di SMP tempat ia mengajar. Aku dulu bersekolah di sana,
bersama Bapakku, dan aku jengah menjadi bahan olok-olok karena Bapakku killer. Dia jarang tersenyum. Sesekali
tertawa hanya jika melihat srimulat diputar kembali di televisi nasional.
Bertolak belakang sekali dengan Ibu. Namun itulah cinta, saling melengkapi, katanya. Dan
hasilnya adalah aku, yang menuruni sifat keduanya. Over thinking namun arogan dan lugas.
***
02.24
Aku mulai terkantuk.
Kereta malam Gajayana tujuan akhir Banyuwangi ini berjalan lamban, pikirku. Pak
Naryo, laki-laki parubaya asal Tulungagung, penumpang di sebelahku sudah ambruk
tertidur. Terkerungkup jaket-setengah-jasnya yang berwarna hitam. Aku masih
betah membolak-balik buku agendaku. Mencoretnya di sana-sini tanda satu per
satu acara sudah terlaksana.
Hanya saja aku harus
balik cepat sehabis hari raya nanti. Libur hanya lima hari, aku harus kembali
ke rantau mengurus ini-itu sebagai calon ketua BEM yang pemilihannya sebulan
lagi. Lelah. Aku sedikit malas membayangkannya. Sibuk, rapat, hearing, kampanye dan tetek-bengek lainnya. Aku hanya ingin
santai dan pulang kampung menjenguk Ibu-Bapak saja. Aku hanya ingin kembali.
Kembali ke peraduan.
Aku menatap lamat kaca
jendela. Dari luar tergambar sawah terhampar yang hitam dimakan malam.
Perjalanan malam ini entah mengapa aku menikmati. Atau mungkin karena sudah
lama tak ku jalani? Lalu bias wajahku nampak dari samar kaca. Membuatku
berpikir, apakah salah jika aku menjadi aktivis kampus? Apakah dibenarkan jika
aku jarang pulang hanya karena ingin menambah banyak pengalaman? Dan, apakah Ibu dan
Bapakku baik-baik saja? Biarlah. Biarlah pertanyaan-pertanyaan itu berputar di otakku saja. Biarlah hidup ini berproses. Mudahan-mudahan
Ibu-Bapakku dapat mengerti. Mudah-mudahan.
Akan ku mintakan izinku
pada Bapak-Ibu nanti, saat aku kembali.
***
07.18
Bang, udah sampai? Jangan lupa kabari aku
Kali
ini bukan kalimat dari ibuku yang muncul di layar ponsel. Ibu telah ku cueki
sejak tadi malam. Dia mungkin lelah telah mengirim lebih dari sebelas pesan dan
tak ku balas.
Ini
dari Marini.Kekasihku.
Kekasihku yang kujanjikan akan kunikahi setelah ku wisuda nanti. Ya, dia telah
kuperawani. Katanya, dia mencintaiku sampai mati, sampai apa saja dia beri.
Bahkan aku tak tahu apakah ku mencintainya. Brengsek memang. Tapi akan tetap kunikahi
dia nanti. Bukan karena cinta. Tapi karena aku laki-laki, pantang ingkar janji.
Sudahlah,
kuputuskan untuk mengabaikan saja pesannya. Anggap saja aku sedang tertidur
karena lelah dalam kereta. Nanti akan kukatakan itu sebagai alasan.
Ya,
akan kuceritakan tentang Marini juga pada Bapak-Ibu. Bukan tentang dia yang
sudah keprawani tentunya. Tentangnya, perangainya, dan sikap-sifatnya sebagai
calon istri. Semoga orang tuaku merestui. Nanti, jika aku kembali.
***
14.46
Langit mendung Kediri dating
sore ini. Bersama Gajayana Malam yang datang terlambat. Enam belas menit
rupanya. Aku turun. Aaah, lelah. Ku seret kaki ini meninggalkan gerbong melangkah
menuju peron.
Inilah kampungku.
Inilah peraduanku.
Bu,
Juli kembali.
Kataku dalam hati.
Akan ku ceritakan padanya
tentang hidupku dua tahun ini, tentang bagaimana aktifitasku, rapat-rapatku,
prosesku dicalonkan menjadi ketua BEM, dan tentu saja tentang Marini.
Tentang kelokan hidup
yang ku lalui. Tentang mereka, akar-akar yang membantuku memberi kebermanfaatan
bagi orang banyak. Tentang Marini, mentariku yang mengubahku membuat meninggi.
Tentang kesenangan-kesenanganku bersama awan-awan di angkasa Ibu Kota. Dan
tentang perjalananku kembali, Bu.
Jika nanti aku akan
berangkat menyiklus lagi, izinkan aku
kembali suatu hari nanti.
Di waktu seperti
sekarang ini.
Di akhir Juli.
Kemudian gerimis turun membasahi Kota Kediri.