Hari ini
matahari datang lagi. Menggusur semua gelap dan menggantinya pelan pelan dengan
cahaya tampak. Namun, sepertinya matahari pagi ini tak mampu buang semua
dingin, tak mampu habiskan semua sisa-sisa tangis tadi malam. Aku tetap
tengkurap di atas pembaringan. Dipeluk malaikat tanpa sayap yang selalu
memberikan rasa hangat.
Ku kerjapkan
mata ini. Memberi sedikit salam pada hari kedua bulan Agustus. Sedikit risih
dengan malaikat yang tetap memelukku sepagi ini. Ku tendang dia. Ku singkirkan
jauh-jauh. Dengan angkuh, aku merasa siap menjalani hari ini.
***
“Selamat pagi.
., syukurlah kamu bangun lebih awal pagi ini.”
Suara itu
mengagetkanku. Aku tak tahu siapa yang berhasil menelusup ke kamarku pagi-pagi
begini.
“Kau bingung?
Pantas saja. Tapi tak apa. Perkenalkan, aku malaikat yang bertugas hangatkan
setiap malammu.”
Ku dengar
suara yang sama. Aku merinding.
“Tak usah
takut. Aku bukan setan atau genderuwo
kok. Yah, aku malaikat. Bukankah kau yang memberikan nama itu kepadaku. Ingat?”
Aku pikir,
ketakutanku salah. Ku putuskan bangkit dari pembaringan dan duduk menatap
jendela yang masih lembab oleh sang embun.
“Pagi ini kau
kelihatan membaik. Tak segelisah tadi malam. Sudah dapat mengontrol emosimu?”
Aku diam.
“Kau lupa ya.
Tadi malam kau menangis hebat. Gelisahmu memuncak. Dan aku yang kau percaya tuk bilas pipi basahmu.”
Aku tetap
diam. Mengingat.
“Kau bilang
padaku, kau telah berbuat dosa seharian kemarin? Iya kan? Sampai-sampai kau
bilang kau tak bisa memaafkan dirimu sendiri. Berlebihan.”
Ku pandangi
dia lekat-lekat.
“Hei. Aku,
sang malaikatlah yang selalu mendekapmu disaat kau inginkan. Disaat gundah,
dingin, sendiri dan tangismu. Aku yang selalu hangatkan malammu. Hehe, maaf
sedikit narsis. Tapi, apa kau tak ingin mengucapkan sedikit terimakasih padaku?
Aku bukan meminta pamrih loh ya, hanya sedikit berharap.”
Ku rengkuh
dia. Ku peluk dan ku cium dengan anarkis. Da dia balas dengan sentuhan
kelembutan. “Terimakasih.” ucapku.
“Sudahlah. Tak
usah berlebihan. Aku terlalu bau apek untuk kau ciummi.”
Aku tertawa
sendiri.
“Alangkah
baiknya, sekarang kau ambil air wudlu. Meminta ampunan kepadaNya atas dosamu
hari kemarin. Mumpung matahari belum seberapa naik. Jangan lupa, minta maaf
kepada ibumu. Katamu, beliaulah yang paling kau kecewakan.”
***
Sebuah
percakapan pagi ini membuatku tahu bahwa kita tak pernah sendirian. Kita punya
Tuhan yang lucunya memberikan kesadaran lewat berbagai macam hal. Selimut
contohnya. Dia yang selalu memberikan kehangatan untuk kita dikala kita dingin
dan sendiri. Dia juga yang ada dan sedia untuk menjadi lap air mata.
Dan
kusebut dia, selimut, malaikat pemberi kehangatan.
Terimakasih selimut merah yang
takkan terganti di sudut kamar ini.
#CeritaDariKamar Day2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar