Jumat, 19 Juli 2013

Sebelum Senja


"Silakan kopinya."
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.

Bagiku, kopi ialah pemanis di kala senja. Aku tidak paham dengan anggapan orang-orang yang membenci kopi hanya karena ia pahit. Pahitnya kopi mampu menyadarkanku bahwa hidup tidak selamanya manis. Kopi sanggup membuatku nyaman meski kepala sedang suntuk-suntuknya. Dan kopi ialah teman yang baik bagi mereka yang sedang sendiri. Seperti orang yang sedang menunggu. Seperti aku.

Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik John Mayer yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.

"Semoga aku nggak salah tempat," batinku.
Kuingat-ingat lagi surat itu. Ya, surat aneh yang kudapat sehari yang lalu. Tidak ada nama pengirim, hanya berisi tulisan pendek mengenai permintaan untuk bertemu disertai alamat, tanggal, dan waktunya. Di baliknya terdapat sebuah foto seorang anak lelaki menggenggam tangan seorang anak perempuan. Semakin kuperhatikan, semakin aku yakin jika anak lelaki di foto itu aku. Berbagai macam pertanyaan seperti siapa pengirimnya, ada keperluan apa ia ingin menemuiku, dan kenapa ia bisa memiliki fotoku waktu kecil mengubur segala rasa takutku.

Dan di sinilah aku. Menunggu.
Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
***

Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang perempuan dengan kemeja flanel berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang.Aku hanya diam. Menunggu di sudut ruangan dengan hati berharap cemas.
“Diakah perempuan di foto itu? Apa iya, dia yang mengajakku bertemu sore ini? Lalu, siapa dia? Apa hubungannya dengan masa kecilku?” pertanyaan pertanyaan it terus berputar di benakku.
Kusesap lagi cappuccinoku yang tinggal setengah gelas. Berharap pertanyaan pertanyaan yang berputar di kepalaku ini ikut masuk ke lambung bersamanya.
***

“Hai, Rio?” Suara itu lembut. Dan memang, suara ini milik si perempuan yang baru masuk café tadi.
“Iya. Siapa ya?” Aku balas dengan sedikit senyuman.

Tanpa permisi, wanita berkawat gigi itu menggered kursi didepanku. Duduk, meletakkan tas selempang kulit warna coklatnya dengan anggun dan menarik nafas lebih panjang, mungkin dia lelah dalam perjalanan menuju ke sini. Senyumnya manis walaupun penampilannya sudah mulai berantakan terkena peluh. Tapi kesan pertamaku : dia cantik.

“Aku Astri. Mungkin kamu lupa denganku. Tapi aku masih ingat kamu kok. Kita teman masa kecil, percaya?”
Aku diam, memperhatikan gaya bicaranya yang sedikit medhok. Mungkin dia dari Jogja, atau Solo atau kota lain di Jawa. 

“Eh, kok diam?”
Sory, tapi aku sama sekali nggak inget kamu. Aku nggak tau kamu. . .”
“Oh yaya. Mungkin kamu belum ingat. Tunggu sebentar.”

Astri membuka tasnya. Merogoh sesuatu benda yang aku tak tau apa. Aku hanya memerhatikan. Tak lama dia menyodorkan beberapa lembar foto usang kepadaku.

“Ini. Coba kamu lihat. Ini foto foto kita waktu kecil dulu. Salah satunya yang aku kirimkan ke kamu kemarin. Ini waktu kita liburan bersama ke Parangtritis bareng Ibu sama Bapak kita masing masing. Yang ini waktu kita berpose menangkap matahari terbenam. Umur kita dulu baru lima tahun. Kamu ingat?” jelasnya sambil menunjukkan detail foto foto yang bahkan beberapa diantaranya sudah mulai rusak.
Aku berpikir keras. Mungkin kerutan kerutan di dahiku sudah nampak jelas. Mencoba mengais ngais memori masa kecil yang sudah kulupa. 

“Kamu Jati bukan sih?”
“Nah iya! Aku Jati. Anaknya tante Rosma, kamu ingat?”
“Ooooh, kalo Jati aku ingat.”
“Namaku Astri Jayanti ya Yo! Cuma kamu yang panggil aku Jati, yo.”
“Ya abisnya dulu aku enaknya manggil kamu Jati sih. Eh tapi, kamu beda banget loh. Dulu kan kamu item, kriting pendek. Sekarang cantikan deh.” 

Ada apa dengan sistem otakku ini ya Tuhan. Dia Jati, aku baru ingat. Dia teman masa kecilku, atau mungkin lebih tepatnya gebetan masa kecil. Ibu kami yang bersahabat dekat dengan paksa memerkenalkan kami berdua. Aku jadi ingat, pertama kali kami dipertemukan.  

Sore sore, Tante Rosma membawa Jati ke rumahku. Jati yang sangat pemalu taka mau berjabat tangan dengan siapapun, termasuk aku. Tapi, sifat pemalunya kululuhkan dengan buku dongeng pinokio. Kami membacanya berdua, di ayunan, di bawah rimbunnya pohon mangga, di depan rumahku yang dulu. Kami menghabiskan senja bersama. Menebak bentuk awan di langit sore yang sudah menjingga. Tapi itu dulu, sebelum aku pindah ke Jakarta ikut Ibu yang meninggalkan Ayah di Jogja karena dia yang memilih wanita lain. 

Tapi, getaran apa ini? Ini pertemua pertama setelah belasan tahun yang lalu. Dulu, aku sayang Jati. Jati yang hitam manis yang selalu merengek manja ketika ku cubit pipinya. Tapi itu dulu, dulu sekali. Delapan belas tahun yang lalu. 

“Aku baru lulus kuliah Yo. Bapakku meninggal beberapa tahun yang lalu. Kata Ibu, aku dulu punya sahabat kecil. Dan itu kamu. Makannya aku langsung cari tahu dan mengirimkan surat yang kamu terima kemarin.”
“Terus, Tante Rosma? Apa kabar dia?”
“Ibu sudah mulai sakit sakitan Yo, paru-parunya bermasalah. Oh ya, selama di Jakarta, aku nginep di rumahmu ya. Tekor nih kalo harus nginep di hotel lagi.”
“Oke lah. Sip! Itungannya sama ya kaya di hotel bintang lima. Hehe. . “
“Hahahaha. . .” 

Sore itu kami membunuh waktu dengan ngobrol ke sana ke sini. Bernostalgia dengan kenangan kenangan manis yang kami pernah lalui. Menunggu senja seperti sedia kala. Seperti saat kedua anak manusia belum diberikan nalar yang kuat oleh-Nya. Pertemuan yang tiba-tiba memang siapa yang tahu? Dia yang selama ini menjadi masa lalumu, mungkin suatu saat akan menemuimu kembali. Dipertemukan kembali oleh waktu. 

“Yo, kita habiskan senja kali ini berdua yah. Seperti waktu kecil dulu.”
“Oke, aku punya tempat yang wajib kamu datangi, mau ikut aku?”
Kami keluar dari café bernuansa vintage itu berdua. Berharap senja yang akan menemani pertemuan awal ini, dan semoga senja yang akan menjadi saksi kami hingga nanti.

lanjutan dari www.adityadinata.blogspot.com/sebelum-senja

2 komentar:

  1. Walau konfliknya kurang nendang, ceritanya bagus juga! Kerasa manis gitu :") Bakal lebih keren kalau tata tulisnya juga dibenerin, tuh..., misalnya aja dengan menyisipkan tanda baca '-' di antara kata ulang :D Good luck, bray!

    BalasHapus
  2. siap! hehe. Lagi belajaran nulis nih. maaksih koreksinya kaka~

    BalasHapus