"Silakan kopinya."
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.
Bagiku, kopi ialah pemanis di kala senja. Aku tidak paham dengan anggapan orang-orang yang membenci kopi hanya karena ia pahit. Pahitnya kopi mampu menyadarkanku bahwa hidup tidak selamanya manis. Kopi sanggup membuatku nyaman meski kepala sedang suntuk-suntuknya. Dan kopi ialah teman yang baik bagi mereka yang sedang sendiri. Seperti orang yang sedang menunggu. Seperti aku.
Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik John Mayer yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.
"Semoga aku nggak salah tempat," batinku.
Kuingat-ingat lagi surat itu. Ya, surat aneh yang kudapat sehari yang lalu. Tidak ada nama pengirim, hanya berisi tulisan pendek mengenai permintaan untuk bertemu disertai alamat, tanggal, dan waktunya. Di baliknya terdapat sebuah foto seorang anak lelaki menggenggam tangan seorang anak perempuan. Semakin kuperhatikan, semakin aku yakin jika anak lelaki di foto itu aku. Berbagai macam pertanyaan seperti siapa pengirimnya, ada keperluan apa ia ingin menemuiku, dan kenapa ia bisa memiliki fotoku waktu kecil mengubur segala rasa takutku.
Dan di sinilah aku. Menunggu.
Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.
Bagiku, kopi ialah pemanis di kala senja. Aku tidak paham dengan anggapan orang-orang yang membenci kopi hanya karena ia pahit. Pahitnya kopi mampu menyadarkanku bahwa hidup tidak selamanya manis. Kopi sanggup membuatku nyaman meski kepala sedang suntuk-suntuknya. Dan kopi ialah teman yang baik bagi mereka yang sedang sendiri. Seperti orang yang sedang menunggu. Seperti aku.
Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantai parquet. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik John Mayer yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.
"Semoga aku nggak salah tempat," batinku.
Kuingat-ingat lagi surat itu. Ya, surat aneh yang kudapat sehari yang lalu. Tidak ada nama pengirim, hanya berisi tulisan pendek mengenai permintaan untuk bertemu disertai alamat, tanggal, dan waktunya. Di baliknya terdapat sebuah foto seorang anak lelaki menggenggam tangan seorang anak perempuan. Semakin kuperhatikan, semakin aku yakin jika anak lelaki di foto itu aku. Berbagai macam pertanyaan seperti siapa pengirimnya, ada keperluan apa ia ingin menemuiku, dan kenapa ia bisa memiliki fotoku waktu kecil mengubur segala rasa takutku.
Dan di sinilah aku. Menunggu.
Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang perempuan dengan kemeja flanel berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang.Aku hanya diam. Menunggu di sudut ruangan dengan hati berharap cemas.
“Diakah
perempuan di foto itu? Apa iya, dia yang mengajakku bertemu sore ini? Lalu,
siapa dia? Apa hubungannya dengan masa kecilku?” pertanyaan pertanyaan it terus
berputar di benakku.
Kusesap
lagi cappuccinoku yang tinggal
setengah gelas. Berharap pertanyaan pertanyaan yang berputar di kepalaku ini
ikut masuk ke lambung bersamanya.
***
“Hai, Rio?”
Suara itu lembut. Dan memang, suara ini milik si perempuan yang baru masuk café tadi.
“Iya.
Siapa ya?” Aku balas dengan sedikit senyuman.
Tanpa
permisi, wanita berkawat gigi itu menggered kursi didepanku. Duduk, meletakkan tas
selempang kulit warna coklatnya dengan anggun dan menarik nafas lebih panjang,
mungkin dia lelah dalam perjalanan menuju ke sini. Senyumnya manis walaupun
penampilannya sudah mulai berantakan terkena peluh. Tapi kesan pertamaku : dia
cantik.
“Aku Astri. Mungkin kamu lupa denganku. Tapi aku masih ingat kamu kok. Kita teman masa kecil, percaya?”
“Aku Astri. Mungkin kamu lupa denganku. Tapi aku masih ingat kamu kok. Kita teman masa kecil, percaya?”
Aku diam,
memperhatikan gaya bicaranya yang sedikit medhok. Mungkin dia dari Jogja, atau
Solo atau kota lain di Jawa.
“Eh, kok
diam?”
“Sory, tapi aku sama sekali nggak inget
kamu. Aku nggak tau kamu. . .”
“Oh yaya.
Mungkin kamu belum ingat. Tunggu sebentar.”
Astri
membuka tasnya. Merogoh sesuatu benda yang aku tak tau apa. Aku hanya
memerhatikan. Tak lama dia menyodorkan beberapa lembar foto usang kepadaku.
“Ini. Coba
kamu lihat. Ini foto foto kita waktu kecil dulu. Salah satunya yang aku
kirimkan ke kamu kemarin. Ini waktu kita liburan bersama ke Parangtritis bareng
Ibu sama Bapak kita masing masing. Yang ini waktu kita berpose menangkap
matahari terbenam. Umur kita dulu baru lima tahun. Kamu ingat?” jelasnya sambil
menunjukkan detail foto foto yang bahkan beberapa diantaranya sudah mulai
rusak.
Aku berpikir
keras. Mungkin kerutan kerutan di dahiku sudah nampak jelas. Mencoba mengais
ngais memori masa kecil yang sudah kulupa.
“Kamu Jati
bukan sih?”
“Nah iya!
Aku Jati. Anaknya tante Rosma, kamu ingat?”
“Ooooh,
kalo Jati aku ingat.”
“Namaku
Astri Jayanti ya Yo! Cuma kamu yang panggil aku Jati, yo.”
“Ya
abisnya dulu aku enaknya manggil kamu Jati sih. Eh tapi, kamu beda banget loh. Dulu
kan kamu item, kriting pendek. Sekarang cantikan deh.”
Ada apa
dengan sistem otakku ini ya Tuhan. Dia Jati, aku baru ingat. Dia teman masa
kecilku, atau mungkin lebih tepatnya gebetan masa kecil. Ibu kami yang
bersahabat dekat dengan paksa memerkenalkan kami berdua. Aku jadi ingat,
pertama kali kami dipertemukan.
Sore sore,
Tante Rosma membawa Jati ke rumahku. Jati yang sangat pemalu taka mau berjabat
tangan dengan siapapun, termasuk aku. Tapi, sifat pemalunya kululuhkan dengan
buku dongeng pinokio. Kami membacanya berdua, di ayunan, di bawah rimbunnya
pohon mangga, di depan rumahku yang dulu. Kami menghabiskan senja bersama. Menebak
bentuk awan di langit sore yang sudah menjingga. Tapi itu dulu, sebelum aku
pindah ke Jakarta ikut Ibu yang meninggalkan Ayah di Jogja karena dia yang memilih
wanita lain.
Tapi, getaran
apa ini? Ini pertemua pertama setelah belasan tahun yang lalu. Dulu, aku sayang
Jati. Jati yang hitam manis yang selalu merengek manja ketika ku cubit pipinya.
Tapi itu dulu, dulu sekali. Delapan belas tahun yang lalu.
“Aku baru
lulus kuliah Yo. Bapakku meninggal beberapa tahun yang lalu. Kata Ibu, aku dulu
punya sahabat kecil. Dan itu kamu. Makannya aku langsung cari tahu dan
mengirimkan surat yang kamu terima kemarin.”
“Terus,
Tante Rosma? Apa kabar dia?”
“Ibu sudah
mulai sakit sakitan Yo, paru-parunya bermasalah. Oh ya, selama di Jakarta, aku
nginep di rumahmu ya. Tekor nih kalo harus nginep di hotel lagi.”
“Oke lah.
Sip! Itungannya sama ya kaya di hotel bintang lima. Hehe. . “
“Hahahaha.
. .”
Sore itu
kami membunuh waktu dengan ngobrol ke sana ke sini. Bernostalgia dengan
kenangan kenangan manis yang kami pernah lalui. Menunggu senja seperti sedia kala.
Seperti saat kedua anak manusia belum diberikan nalar yang kuat oleh-Nya. Pertemuan
yang tiba-tiba memang siapa yang tahu? Dia yang selama ini menjadi masa lalumu,
mungkin suatu saat akan menemuimu kembali. Dipertemukan kembali oleh waktu.
“Yo, kita
habiskan senja kali ini berdua yah. Seperti waktu kecil dulu.”
“Oke, aku
punya tempat yang wajib kamu datangi, mau ikut aku?”
Kami
keluar dari café bernuansa vintage itu berdua. Berharap senja yang akan menemani pertemuan
awal ini, dan semoga senja yang akan menjadi saksi kami hingga nanti.
lanjutan dari
www.adityadinata.blogspot.com/sebelum-senja
Walau konfliknya kurang nendang, ceritanya bagus juga! Kerasa manis gitu :") Bakal lebih keren kalau tata tulisnya juga dibenerin, tuh..., misalnya aja dengan menyisipkan tanda baca '-' di antara kata ulang :D Good luck, bray!
BalasHapussiap! hehe. Lagi belajaran nulis nih. maaksih koreksinya kaka~
BalasHapus